Wajahmu Sendu Berselimut Awan Kelabu

Posted by Unknown , Friday, February 15, 2013 2/15/2013 10:42:00 PM

Sore tadi, ketika aku baru datang. Seperti biasanya, Catchy menyambut di depan pintu gerbang. Lalu, mengiringi langkah-langkahku menuju tangga, hingga ke pintu kamar. Kemudian ia ingin ikut masuk ke kamar. Seperti biasanya pula, aku mengizinkan Catchy masuk, meski ia tidak cuci kaki terlebih dahulu. 

Selanjutnya, ku lihat ia segera menuju ke singgasananya. Di mana lagi? Kalau bukan menuju sudut kasur, terujung. Catchy... Catchy... Sungguh ia membuatku kagum. Makhluk bernyawa yang tidak dapat bicara sebagaimana halnya manusia, tentu saja aku tidak mengerti apa yang ia sampaikan padaku, setiap kali kami bersua.

Setelah menyimpan tas di lantai, aku pun segera menuju kamar mandi, untuk mencuci kaki, tangan dan sikat gigi. Lalu, bersih-bersih hingga wangi. Dan setelah semuanya beres, aku pun kembali ke kamar.  Di sana, masih ada Catchy yang sedang duduk melamun. Entah apa yang ia pikirkan, aku tidak tahu. 

Segera ku menggelar sajadah berwarna biru kemerahan dengan corak kuning kotak-kotak. Karena memang pada saat aku pulang, azan Isya sudah berkumandang. Tidak menunggu waktu lama, aku pun mendirikan shalat. 

Oia, sebelumnya, ku sapa Catchy lagi dengan sapaan yang tidak mungkin ia jawab. Namun, dari gerakan kedua ujung telinga dan membuka mata yang semenjak tadi mengatup-ngatup, aku mengerti bahwa Catchy menyahuti sapaku. 

 Setelah aku selesai shalat.

"Catchy laper yaa...," tambahku lagi.

"Ada apa Catchy...," bisikku di telinganya.
"Catchy belum makan, kann...," aku kembali bertanya.
"Hmmmm... Catchy mau dikasih apa yaa...," ini pertanyaan yang selalu ku sampaikan padanya, setiap kali ia mengikutiku, hampir setiap hari.

Ohiyaaa, selalu saja aku begitu. Tidak ingat dengan Catchy, ketika aku masih di luar. Jadi, akupun tidak membawakan makanan berupa lauk atau ikan buatnya. Nah! Baru ingat pas sudah di depan gerbang, saat memandang Catchy yang menyambut dengan suaranya nan menawan. 
"Ai, aku ini..., kok bisa jadi begini?," seringkali ku menanyai diri, akhir-akhir ini. Aku yang kehilangan diriku. Aku yang terkadang tidak lagi menjadi diriku. Aku yang mengalami masa-masa penuh dengan ilusi. Aku yang menjalani hari-hari bersama naungan mimpi. Aku yang masih sedang berjuang untuk belajar dan mengerti atas apa yang aku alami. Aku... ingin mengetahui pada suatu saat nanti, makna dari apa yang terjadi denganku, saat ini. Kalau saat ini, ternyata aku belum dapat memetik arti dan mengurai makna darinya. 
Sepanjang tanya yang aku sampaikan padanya, tiada terjawab satu patahpun oleh Catchy. Selain ekspresi yang ia perlihatkan padaku, bahwa ia memang belum makan. Melas wajahnya, dan tidak bersemangat. Layu tatapannya, seperti tanpa harapan. Namun demikian, ku melihat Catchy terus memandang ke arah meja. Di meja, memang ada sebuah kantong berisi potongan biskuit, sisa hari-hari kemarin. Dan sebungkus biskuit yang masih tersisa beberapa potong isinya, umumnya memang Catchy yang menyantap. 

Pandangan yang ia layangkan ke meja, karena ia mengerti. Bahwa ia minta itu biskuit. Sedangkan aku yang mengikuti arah pandang Catchy, tidak beranjak dari tempat aku berada. Hanya memperhatikan Catchy. Hingga aku pun melihat Catchy melompat ke atas meja yang tingginya tujuh puluh sentimeter itu. Tidak lama kemudian, terlihat ia sedang mengendus-endus kantong. Ia mengerti, masih terdapat potongan biskuit di dalamnya. 

Aku tidak segera membukakan untuk Catchy, seperti kemarin-kemarin. Lalu, ku berikan Catchy beberapa potong. Tidak. Aku tidak melakukan hal yang sama, hari ini. Namun malah bertanya lagi pada Catchy, "Catchy mau, biskuitnya...? Beneran...?"  Hiksss... seakan Catchy akan menjawab saja, aku terus menanyanya. Padahal ia tidak akan pernah menjawab tanyaku. Sampai kapanpun juga.  

Tanpa mempedulikan tanya yang aku sampaikan, Catchy terus saja melanjutkan aktivitasnya, mengendus-endus kantong. Sampai aku pun akhirnya bangkit, mengambil kantong, lalu memberikan sepotong biskuit buat Catchy.  Sedangkan Catchy, terlanjur ngambek.  Karena ia tidak beranjak dari tempat duduknya, malah diam di sana di atas meja. 

"Mungkin ia marah?," pikirku.  

Gantian Catchy yang mendiamkanku. Walaupun sudah ku panggil-panggil ia beberapa kali, agar mendekati untuk ku suapi sepotong biskuit. Biasanya ia mau. Namun tadi, berbeda, teman... 

Atas apa yang aku saksikan, membuatku berpikir. Lalu, menanyaku pada diri sendiri, "Ada apa dengan Catchy...? Mengapa ia terlihat pendiam hari ini? Sedangkan biasanya tidak begitu? Tidak seperti biasanya, gumamku. Hingga saat ini, ketika Catchy sudah tidak sedang bersamaku, ingatan ini masih tertuju padanya. 

Catchy, kucing manis yang baik... Semoga engkau baik-baik saja, yaa, yakinku. 
***

Sesungguhnya apapun yang sedang kita miliki saat ini merupakan kebutuhan kita. Namun tidak semua yang kita miliki, menjadi milik kita sepenuhnya. Apalagi saat kita menyadari bahwa apa yang kita miliki melebihi kebutuhan. Hingga sampaikan kita pada tahap kehidupan yang lebih indah, yaitu membagikannya. 

Terkadang, apa yang sedang berada pada kita, merupakan kebutuhan kita. Namun, ketika kita bersedia untuk membagikannya segera, adalah salah satu jalan hadirnya kebahagiaan yang abadi. Seperti kisah yang dialami oleh salah seorang temanku dalam perjalanan pulang, tadi sore. Beliau sedang berjalan-jalan sore di bawah rintik hujan yang mulai menepi. Lalu beliau pengeeen banget menemukan minuman yang hangat-hangat. Hingga ketemulah beliau dengan seorang penjual bandrek. 

Bandrek yang berbahan campur berasal dari jahe ini, tentu menghangatkan raga saat diminum. Tidak panjang cerita, akhirnya bandrek pun berada di tangan beliau. Dan aku menyaksikan dengan jelas. Setelah memesan satu gelas bandrek, teman tadipun segera berlalu dengan bertransaksi terlebih dahulu. Nah! Lho, aku yang sedang melangkah bersama beliau, ujung-ujungnya terkagetkan. Karena di dalam perjalanan selanjutnya, bandrek tadi yang hanya satu-satunya, beliau serahkan pula pada orang lain yang beliau temui di dalam perjalanan. 

"Wah! Kok bisa, yaa," tanyaku. 
Padahal aku tahu bahwa beliau cuma punya satu bungkus. Dan beliau bilang sangat pengeeeen meminumnya. Namun malah tidak jadi. 

Sesungguhnya ada hikmah yang dapat ku petik dari kisah tadi. Bahwa, sekalipun apa yang ada di tangan kita  merupakan milik kita, namun sebenarnya ia belum menjadi milik kita yang seutuhnya. Selagi; contohnya; makanan; tersebut belum sampai pada rongga mulut, hingga ke perut.

Simple-nya makna tentang rezeki, memang begitu. Bahwa rezeki kita yang sesungguhnya adalah apa yang telah kita nikmati, sedangkan yang masih berada di dalam genggaman dan sedang kita suap, bisa jadi sedetik kemudian pun berpindah. Oleh karena itu, pahamilah benar-benar, akan makna milik kita yang sebenarnya. Milik yang kita anggap merupakan kepunyaan kita. Padahal, tiada satupun yang merupakan milik kita, selain hanya titipan saja. Dan yang namanya titipan, bisa jadi dapat berpindah tangan, pada yang semestinya memiliki. Inilah salah satu rumus sukses merelai apa yang luput dari kita. Agar kita segera mengembalikan ingatan pada Pemilik yang sesungguhnya. Termasuk diri kita ini, ia hanyalah titipan sementara saja, tidak kita miliki. Nah! Yang menjadi pertanyaan di sini, bagaimana cara kita menjaga titipan ini? 

Oleh karena itu, wahai Catchy,... usahlah engkau bersendu wajah? Apalagi menyelimutinya dengan awan berkelabu. Karena tak asyik mata memandang. Termasuk aku yang menyaksikanmu, ikut terbawa suasana, jadinyaaaaa kannn. Ikhlaskanlah suamimu, yang pergi bersama yang lain. Karena ia bukan milikmu, hanya titipan.

::: di akhir catatan ini, aku berpikir bahwa Catchy melamun karena ia sedang kehilangan suaminya, yang belum pulang-pulang. Padahal sudah malam. Apakah pikirku saat ini benar? Maybe yes, maybe no. 
C78CFB59525D8620A655F4C0D3B966C7

0 Response to "Wajahmu Sendu Berselimut Awan Kelabu"

Post a Comment

بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ