Gemar Berbagi Bahagiakan Jiwa

Posted by Unknown , Tuesday, April 2, 2013 4/02/2013 09:10:00 PM

Hari ini, kita telah sampai pada tanggal dua April tahun dua ribu tiga belas. Ha? Sungguh cepat waktu bergulir. Sedangkan kita, apakah yang kita lakukan dalam perguliran waktu yang terus melaju ini, teman? Dan masih ingatkah kita pada berbagai rencana dan jadual yang kita telah rancang sedemikian rupa, jauh-jauh hari sebelum hari ini hadir? 

Pitri Meiyanti. Adalah nama salah seorang temanku di kota ini. Kota yang menyambutku dengan ramah senyumannya saat pertama kali aku menginjakkan kaki di atas tanahnya. Pun kota ini menjadi salah satu kota terdingin yang pernah aku temui di sepanjang hayatku di dunia ini. Dan di kota inilah kami bertemu, bersama dan berjuang untuk melanjutkan cita dalam merengkuh asa. Kota Bandung tercinta, akan ku kenang ia sebagai bagian dari perjalanan kehidupanku yang berwarna. Sesuai dengan namanya, kota kembang. Sungguh banyak jenis kembang beraneka rupa yang ia selipkan di relung hatiku. Kembang yang mensenyumkanku saat mengingatkannya. 

Beliau, seorang teman yang semenjak awal berjumpa, sangat menarik perhatianku. Beliau yang saat pertama kali melihat, aku menjadi terkesan. Entah mengapa? Sungguh aku masih bertanya-tanya. Seorang perempuan yang hingga saat ini, akhirnya menjadi bagian dari kisah perjalanan kehidupanku. 

Di sepanjang waktu yang kami jalani bersama, banyak kesan yang beliau selipkan kepadaku. Pun banyak pula pesan-pesan baik tersurat maupun tersirat yang ku dapatkan dari beliau. Baik secara langsung maupun tidak langsung. Intinya, dalam kebersamaan dengan Teh Mey, begini aku akrab menyapa beliau, aku merasa seorang yang sangat beruntung. Aku merasa beruntung karena Allah izinkan untuk bertatap dengan pribadi selayak beliau untuk pertama kali. Aku pun akhirnya berkenalan dengan beliau, setelah beberapa kali kami bersua. Ah, perkenalan pertama, tidak banyak yang aku ingat. Hanya saja, kesan terindah yang tidak akan pernah aku lupakan dari beliau adalah tentang kedermawanan. Wah! Betul, temanku yang seorang ini, sungguh baik budinya. Ramah, sopan dan membuatku terkagum. 

"Aku ingin meniru meneladani berbagai karakter yang membuatku tertakjub dan terpesona. Dan aku ingin meniti jejak-jejak yang beliau tinggalkan, saat aku mempunyai kesempatan untuk memperhatikan kisah perjalanan beliau. Dan ketika kesempatan untuk menjadi teman dalam perjalanan itu telah datang, maka alangkah bahagianya di dalam jiwa. Rasanya, ku ingin teriakkan pada mentari malam ini, bahwa aku sangat bahagiaaaa... aaaaaaa Sampaikanlah segala nuansa yang kita punya. Baik tentang bahagia pun yang sebaliknya, tepat pada saat kita menjalaninya. Agar, kita menjadi tahu setelahnya, bahwa kita pun pernah alami kondisi serupa. Ya, luahkan saja."

Dan malam ini, ketika mentari belum lagi bersinar di bagian bumi tempatku berada, aku sedang mengharapkan pertemuan dengannya. Pertemuan yang semenjak lama telah kami janjikan. Pertemuan yang hanya kami jalani dengan senyuman yang terus berangkaian. Dan malam ini, dalam senyuman yang menempel pada area wajahku, ingin sangat ku perlihatkan pada mentari nun yang saat ini tentu saja masih jauh dariku. Wahai mentari, perhatikanlah, bahwa aku sedang mempraktikkan pula rangkaian senyuman yang pernah engkau teladankan dulu. Rangkaian senyuman yang hampir setiap hari engkau perlihatkan kepadaku, tiada henti. Engkau bersinar, untuk mengajariku bagaimana cara tersenyum lebih indah, secerah senyumanmu. 

Aku tersenyum tentu karena aku sedang berbahagia. Pun senyumanku terkadang hadir ketika aku sedang bertanya-tanya. Dan tidak jarang pula senyuman itu menebari  wajah ini, ketika aku sedang dalam nuansa tidak percaya dengan apa pun yang sedang aku jalani tepat detik ini. 
Aku masih belum percaya. Belum, belum saja. Dan semoga beberapa saat setelah ini aku menjadi percaya dan mengiyakan apa yang pernah aku urai di dalam pikiran. Bahwa setiap kebaikan dan kebahagiaan yang kita tebarkan, sesungguhnya sedang kita berikan kepada diri kita terlebih dahulu. Dan buktikanlah!

Awalnya aku memang mengenal Teh Mey sebagai seorang yang kalem, dan terlihat pendiam. Namun ternyata di balik penilaian yang aku berikan pada saat kami belum bersapa, sungguh lebih adanya. Karena ternyata, Teh Mey teman baikku, bahkan lebih dari bijaksana sebagaimana yang aku pikir. Beliau dewasa dalam bersikap, pun tertata dalam berucap. Walaupun terkadang ada canda yang terselip dalam detik waktu kebersamaan kami, namun semua itu ada sebagai penghias persahabatan. Dan beliau adalah salah seorang sahabatku, yang pada malam ini, kembali membuatku terpesona. Terpesona bukan karena kami sedang saling bertatap mata dalam pertemuan raga. Namun terpesonaku karena beberapa baris kalimat yang beliau selipkan padaku, ketika kami sedang membuka suara. Ahaaa.a. .a..a.a. ada-ada sajaaa, yaaa. Tiba-tiba Teh Mey memberiku angka-angka yang tidak pernah aku dua. Yah, walau tidak banyak jumlahnya, namun aku sungguh bahagia. Ahayyy... Terima kasih ya, Teh Mey. Lain waktu kita berbagi lagi, yaa. 
Aku ingin meneladani pribadi yang gemar berbagi. Pribadi yang membuatku segera ingat akan janji-janji yang pernah aku ikrarkan pada diriku sendiri. Janji yang membuatku segera menepatinya. Dan salah satunya adalah aku berjanji untuk menjadi diriku sendiri. Diri yang sebagaimana aku saat ini. Dan aku ucapkan terima kasih pada beliau-beliau yang sebelum saat ini pernah ada dan menjadi bagian dari kehidupanku, terima kasih yaa. Karena tanpa peran beliau, aku belum tentu dapat menjadi seperti ini, di sini dan begini. Sungguh, aku berhutang budi. Hutang yang bisa saja tidak dapat ku balas lagi. Namun ia akan ku bawa sampai mati. Iya, ... sebagaimana sebuah kalimat indah ini menyampaikan "Hutang emas dapat dibayar, hutang budi dibawa mati."

Harta yang kita miliki boleh melimpah, namun semoga kita senantiasa ingat, bahwa di dalam harta kita yang melimpah itu, ada hak-hak orang lain di dalamnya. Maka bagikanlah, segera. Begitu pula dengan budi yang kita jelas memilikinya. Jadikanlah ia sebagai salah satu jalan bagi kita untuk mengeluarkan budi-budi dari orang lain. Agar, banyak dan semakin banyak lagi orang-orang yang berbudi di dunia ini. Karena kita tidak dapat selamat sendiri di dalam menempuh perjalanan di dunia ini. Bukankah kita ingin selamat bareng-bareng, yaach..
Atas budi baikmu teman, ingin ku jadikan ia sebagai penasihat diri...
Atas titipan hartamu teman, ingin ku jadikan ia sebagai pengingat diri...
Bahwa di dalam harta kita ada harta orang lain. 
Dan kita tidak berhak seluruhnya atas harta tersebut. Semoga kita sudi, untuk seringkali berbagi.  
C78CFB59525D8620A655F4C0D3B966C7

Ngelarin Skripsi Bulan Ini

Posted by Unknown , 4/02/2013 08:11:00 AM

Engkau sahabatku yang rajin, pintar dan baik. Engkau pun mudah memaafkan. Engkau gemar berbagi dan senang berteman dengan siapa saja. Itulah beberapa kelebihanmu yang aku tahu dan aku pun ingin agar engkau tahu. Oia, ada satu lagi; engkau dapat diandalkan. Karena engkau mempunyai karakter diri yang tegar, sabar dan pantang menyerah. Engkau adalah tipe pekerja keras yang gemar belajar. Sehingga tiada satu haripun yang engkau lalui tanpa memetik hikmah dan pelajaran dari keadaan maupun kejadian yang engkau alami. Namun ada beberapa kekuranganmu yang engkau perlu tahu; engkau penuh dengan pertimbangan, sulit berkomunikasi dan sangat senang menyendiri. 

"Iya, aku sudah tahu semua itu," bisikmu di telingaku seraya tersenyum. Senyuman yang aku ketahui dari nada suara yang mengalir dari bibir mungilmu. 

Sedangkan aku menyambut persetujuanmu itu dengan senyuman pula. Dan aku pun memelukmu erat. Kita berangkulan layaknya sahabat akrab yang sudah lama tidak bersua. Kita bersalaman seraya memperkuat genggamannya tangan. Dan kita berjanji untuk tidak akan pernah saling meninggalkan. Karena kita adalah gabungan dua kekuatan yang mempunyai kelemahan. Kita ada perempuan yang mempunyai kelebihan pun kekurangan. Dan kita adalah pribadi yang Allah ciptakan dengan kesempurnaan. 

Kini, mulai saat ini, kita akan seringkali saling mengingatkan. Begini pernyataan yang kita buat bersama-sama untuk kita jalankan. Kita akan seringkali saling menyemangaaaati, kita akan lebih sering lagi menikmati hari demi hari. Kita pun bersedia untuk menerima berbagai konsekuensi atas apa saja yang kita setujui bersama-sama. Dan kalau saja apa yang kita hadapi merupakan pemicu kita untuk menjadi lebih baik lagi, maka kita pun berlari-lari dalam menjemputnya. Salah satunya adalah rezeki. Ya, menjemput rezeki yang menjadi jalan bagi kita untuk dapat berbagi, tentu kita laksana. Dan kita pun bersegera menujunya. 

Kini, saat ini, kita yang sedang berada pada pagi hari, di bawah senyuman sang mentari pagi, sedang mengikrarkan sebait janji. Janji pada diri kita masing-masing. Janji yang perlu kita tepati. Bahwa kita perlu saling bekerja sama dalam menyelesaikan tugas-tugas penting yang sedang kita kerjakan. Kita perlu menjadi yang berprestasi. Kita perlu menjadi diri kita sendiri. Kita mesti mencapai cita yang sedang melambai-lambaikan jemarinya. Kita perlu segera berbenah diri, apabila ada yang memberikan masukan pada kita. Sebagai bahan untuk introspeksi dan evaluasi, tentunya. Yuuks, marii... ^^ Wahai sahabat hati.
C78CFB59525D8620A655F4C0D3B966C7

"Silakan Gantungkan Sepatumu, Mari Kita Melanjutkan Perjalanan," bisik Sang Teman

Posted by Unknown , 4/02/2013 03:21:00 AM

Betapa senang mempunyai banyak teman. Teman saat melangkah dan meneruskan perjuangan. Namun kalau ada satu teman yang kita punyai dan ia tidak lagi membiarkan kita melangkahkan kaki-kaki ini, maka alangkah lebih senangnya. Kita tidak lagi berjalan kaki. Kita tidak lagi perlu menginjak tanah. Kita pun tidak perlu lagi berterik-terik di bawah sinar mentari yang sungguh mampu meneteskan bulir-bulir keringat. Kita, kita tidak lagi mesti berjumpa dengan langkah-langkah yang berderap di sepanjang perjalanan. 

Aha! Telah ku temukan teman yang ku maksud. 

Walaupun seorang teman telah mengajakku serta dalam kendaraan yang ia kendalikan lajunya, namun aku tidak akan pernah lupa saat-saat aku melangkah. Aku tidak akan pernah lupa waktu kita berjalan bergandengan tangan saat melangkahkan kaki-kaki ini, teman. Pun aku akan senantiasa ingat tentang suka dan duka yang kita tempuh di sepanjang perjalanan. Kita masih bersama, walaupun raga kita telah berjarak.  Kita masih dapat bersua bukan, dalam ingatan dan doa yang kita lantunkan di penghujung waktu shalat. Kita juga masih dapat bersenyuman di dalam lembaran ini. Yah, karena di sini adalah lokasi kita untuk meneruskan perjalanan lagi. Meskipun kaki-kaki ini tidak lagi menapak bumi. 

Teman, engkau yang selama ini rela menggenggam tanganku untuk menguatkan. Engkau yang mengembalikan energiku saat aku kelelahan dalam perjalanan. Engkau yang membagikan persediaan makanan dan minumanmu saat bekalku mulai menyusut. Engkau yang rela memberikan sebaris senyumanmu pada wajahku yang mengkerut. Engkau yang masih bersedia menyapaku saat aku sedang terdiam. Engkau yang sangat mengerti bagaimana memperlakukanku. Engkau yang tidak..tidakk..tidak pernah membiarkanku begitu saja. Engkau yang kembali mengajakku serta denganmu. Engkau yang memberikan lebih banyak waktumu untuk memperhatikanku, ketika aku tidak memberikan perhatian padamu sama sekali. Engkau yang masih mengunjungiku ketika aku bilang tidak mau engkau kunjungi. Engkau yang masih peduli padaku, saat aku tidak menyadari semua itu. Perlahan-lahan, wajah-wajahmu mampir di dalam ingatanku bersama senyuman. Lalu, adakah engkau sedang benar-benar tersenyum saat ini, wahai teman-temanku? Teman-temanku yang banyak jumlahnya. Teman-temanku yang hadir saat ini... Sungguh, aku merindukan kalian... ^^ Mari kita bersalaman dalam ingatan, lalu berpelukan dalam senyuman. 

Alangkah indahnya saat-saat penuh kebersamaan yang pernah kita jalani. Alangkah bahagianya mengenangkan berbagai masa yang pernah kita hadapi bersama. Alangkah beruntungnya aku dapat mengenal teman-teman semua. Perkenalan yang membawa kita pada masa-masa seperti saat ini. Masa yang penuh dengan prasasti. 

Sempat ku selipkan beberapa tangkai buah kata dalam kebersamaan yang kita jalani. Lalu ku titipkan ia dalam lembaran catatan hati. Pun tidak lupa ku selipkan beberapa foto kita di dalam pigura hari itu. Agar kita dapat saling mengingat, ketika kelak tak lagi bersama, seperti saat ini. Haaaa.... haru rasanya mengenangkan semua. Namun, masa lalu telah berlalu. Kini kita buka lembaran baru, dengan harapan yang kita perbarui. Yuhuuuuu..... Brrrrrr....... masih dingin di sini, teman. 

Pagi saat ini, ketika aku sedang merangkai catatan ini. Tepatnya menjelang fajar menyingsing. Dan aku ternyata belum mencuci mukaku terlebih dahulu sebelum mampir di sini. Padahal, alangkah baik kalau aku berwudu' dulu, yaa.. mariii.

beberapa saat kemudian 

C78CFB59525D8620A655F4C0D3B966C7

Hadapi Kenyataan, Teman...

Posted by Unknown , Sunday, March 31, 2013 3/31/2013 10:22:00 PM

Tadi siang sebelum berangkat ke Gramedia Merdeka Bandung, aku sempat menuliskan beberapa tangkai bunga kalimat di dalam buku harianku. Ku kutip saja, yaa. Begini bunyinya: 
"Hari ini, aku ingin kehilangan lagi sepotong mimpi yang ku peroleh tadi malam. Ditandai dengan sebuah kenyataan yang aku alami hari ini. Dan kemudian aku dapat memotong lagi mimpi-mimpiku yang lain menjadi bagian-bagian kecil. Lalu ku ingin kehilangannya lagi, esok hari. Esok yang akan menjadi hari ini ku juga. 
~Aku tidak ingin bermimpi lagi. Namun aku hanya ingin memotong-motongnya. Karena ia telah terlanjur ada. Agar seluruhnya dapat ku genggam di dalam kenyataan.~
Begitulah teman, bunyi dari kalimat-kalimat yang aku selipkan di dalam catatan siang hari tadi. Dan aku sangat terkesan dengannya, pada malam ini. Mengapa? Karena aku sedang menerima kenyataan saat ini. Kenyataan yang aku yakin merupakan bagian dari impianku. Dan ia telah berhasil ku potong hari ini. Ini pertanda bahwa aku telah kehilangan sepotong dari impianku. 

O,... I am still try to understand it.

Ternyata memang ada hubungannya antara apa yang kita rencanakan, kita lakukan, kita inginkan dan kita dapatkan, yaa. Oleh karena itu, senantiasalah berencana. Rencana yang dapat kita lakukan hingga kita pun mendapatinya dalam kenyataan. Rencana yang bukan hanya berupa sebuah kata saja. Namun rencana itu telah berubah menjadi tindakan nyata. 

Ada hubungan antara catatan tersebut dengan kenyataan yang aku hadapi hari ini. Termasuk pula catatan dalam judul sebelum ini. Tentang marah. Ah, keduanya aku alami hari ini. Begini ceritanya,; tadi lagi, dalam perjalanan menuju Gramedia Merdeka, aku ikut dengan angkot. Karena tidaklah mungkin bagiku untuk berjalan kaki ke sana. Karena jaraknya yang sungguh jauh. Maka duduk manislah aku di dalam angkot, di kursi bagian belakang. Tidak di samping supir seperti biasanya. Walaupun ada kesempatan bagiku untuk ikut duduk di kursi depan, namun aku tidak mau, tadi.  

Saat berjumpa dengan angkot, aku naik dengan tersenyum. Karena ternyata ada seorang teteh yang aku kenali, sedang berada pula di dalam angkot yang sama. Angkotpun melaju.

Tidak berapa lama, teteh pun turun di tujuan beliau. Sedangkan sebelumnya, memang ada beliau sendiri, sebelum aku naik. Akibatnya, setelah teteh tadi turun, aku pun tinggal sendiri di kursi belakang. Dan supir pun sendiri di depan. 

Angkot terus melaju dengan kecepatan yang sedang. Tidak ngebut pun tidak pelan. Dan aku memandang ke luar jendela di sepanjang perjalanan. Ku buka sedikit kaca, agar dapat ku rasakan semilir angin yang bertiup dari luar. Sungguh segar terasa. Padahal saat itu terik mentari sedang giat-giatnya bersinar. 

Dari satu persimpangan ke persimpangan lain, angkot terus melaju. Dari satu perempatan ke perempatan berikutnya, aku pun menikmati perjalanan. Hingga tibalah pada sebuah perempatan di dekat Gasibu. Berhubung lampu yang berwarna merah sedang menyala, maka supirpun memperlambat laju kendaraannya. Hingga benar-benar berhenti. 

Beberapa menit setelah angkot berhenti, seperti biasanya, akan ada beberapa pengamen yang menyanyikan lagu-lagu untuk menghibur penumpang yang beliau dekati. Ataupun supir-supir yang sedang duduk sendiri di dalam mobil yang beliau kendarai. Intinya, para pengamen tersebut pun beraksi. Ada yang memainkan alat musik berupa gitar, kecapi, seruling dan sebagainya. Pun tidak jarang hanya menggunakan tepukan tangan sebagai alat musik alami. Tentu saja ditambah dengan nada-nada yang beliau lantunkan. Dan saat itu, ada seorang pengamen mendekati angkot yang aku tumpangi. Ia seorang laki-laki dengan kacamata hitam yang menempel di sekitar wajahnya. Dan dari gayanya, terlihat bahwa ia terkesan tidak sopan. Lagi-lagi aku mengalami nuansa yang aneh atas sikap beliau. Itu saja. Hingga akhirnya terjadilah perseteruan antara kami. Aku yang menanggapi sikap beliau dengan permohonan maaf, ternyata tidak beliau tanggapi dengan baik. Ah.... Aku benar-benar ingin marah. But... hanya mampu ku pandangi sang supir yang sedang duduk di depan, dari kaca yang mempertemukan mata kami. Tatapan yang mengisyaratkan beliau agar segera melanjutkan mengemudi. Kebetulan, lampu telah berubah menjadi hijau. Hayooolaaahhhh Pak, mari ... bisikku di dalam hati. Sedangkan seorang pengamen laki-laki tadi, akhirnya berlalu. Setelah angkot mulai bergerak lagi.  

Sungguh, aku tidak mengimpikan akan bertemu dengan penampilan sebagaimana yang aku kisahkan tadi. Tidak pula aku berharap akan mengalami tragedi yang membuatku sedikit ngeri. Hiiiiy, sungguh, apakah masih ada kesempatan bagiku untuk melanjutkan perjalanan lagi? Kalau seperti itu adanya, aku menjadi tidak berani ke mana-mana dech. Aaaaaaaa... kejadian yang membuatku sungguh ingin nangis, tadi. Karena pengamennya aneh.  Huwaaaaaaa... 

Oke, mulai lupakan kisah yang menyayat hati itu. Dan mari kita melanjutkan pada uraian berikutnya. Tentang peran ingatan, catatan, impian dan kenyataan. Ternyata mereka semua adalah keluarga yang senantiasa saling mengingat. Apabila kita mulai menyusun ingatan lalu merangkainya lagi dalam tulisan sebelum menjalankan, maka semuanya akan kita temukan dalam kenyataan. Sebagaimana catatan yang ku tuliskan pada paragraf dua catatan ini. Catatan yang menandakan bahwa aku ingin kehilangan sepotong mimpi, dan bertukar menjadi kenyataan yang aku alami. Ia pun terjadi. 

Setelah aku menyelesaikan keperluan di Gramedia Merdeka, dan membeli sebuah buku Akuntansi, maka aku pun bersegera pulang. Namun di perjalanan, aku teringat satu hal. Bahwa aku ingin membeli beberapa keperluan rumah tangga terlebih dahulu.  Diantaranya; beberapa sendok, makanan ringan, peralatan, dan termasuk juga kasur baru untuk Catchy dan Bonchu ;baca; keset. Semuanya akhirnya aku bawa pulang. Setelah mampir dulu di tempat perbelanjaan. Namun selain itu, ada satu benda lagi yang ternyata turut serta denganku, yaitu sebuah seprei dan bed cover. Ai,,, kok bisa, yaa? Benarkah ia pernah berada dalam daftar impianku sebelumnya? Buktinya, saat ini ia benar-benar ada dalam kenyataan. Kalau memang benar ada, berarti kini ia  telah terpotong  dari daftar mimpiku. 

Sungguh, sebelumnya aku tidak mengingat sama sekali akan dia dan dirinya. Namun, berhubung tadi lagi ada promo, maka akhirnya aku pun tertarik. Xiixiixiii, lumayan, mendapat potongan harga 30%. Hehehee.

Kini, Catchy dan Bonchu sedang tidur di atas keset biruku yang baru, di depan kamar. Sedangkan aku, siap-siap bersembunyi di balik lembaran bed cover bercorak bunga-bunga. Warnanya pink tua berpadu pink muda dan putih. Sungguh membuat nuansa menjadi cerah. Let's sleeping beauty. ^^
C78CFB59525D8620A655F4C0D3B966C7

Biru bukan Merah

Posted by Unknown , 3/31/2013 07:30:00 AM

Biru. Biru bukan tentang pilu yang menyisakan syahdu. Namun biru adalah haru yang menyentuh kalbu. Biru itu mengingatkanku pada langit siang yang berwarna biru bertemankan mentari. Dan sesungguhnya biru adalah cerminan hati.

Merah. Merah tidak berarti marah. Namun kalau sedang marah, maka menulislah dengan tinta berwarna merah. Maka ia dapat menjadi jalan untuk menyampaikan ekspresi marahmu saat itu juga. Ok?

Biru dan merah, aku tahu engkau berteman. Karena engkau merupakan bagian dari warna-warni yang ada di dunia ini. Dan satu hal yang aku suka darimu adalah engkau mau berteman dengan semua warna yang ada tersebut. Engkau berteman dengan warna-warna yang tepat menurutmu untuk engkau pergauli. Walaupun tidak selalu ku melihat kalian bersama dalam satu kesempatan. Namun aku yakin bahwa kalian seringkali bersama untuk saling memperindah.  Walaupun tidak seluruh warna yang engkau akrabi namun dapat dipastikan bahwa engkau merangkul semua dalam jalinan indah persahabatan. 

Sungguh aku takjub dan terpesona. Karena engkau membuatku belajar satu hal baru darimu setiap kali engkau terlihat olehku. Bahwa engkau adalah sahabat yang baik bagiku. Meskipun ragamu hanya menempel pada benda-benda yang engkau warnai. Namun keberadaanmu di sana sungguh berarti. Engkau menambah hidup suasana, dan engkau mewarnainya. 

Sedangkan engkau, mungkin belum menyadari peran dan artimu bagiku. Karena engkau sedang tidak menempel padaku. Eh,.... ada dink. Hahahaa... Karena ternyata saat ini aku sedang memakai kostum dengan dua warna tadi. Merah dan biru. Oh, kebetulan sajakah ini? Aku yakin tidak! Semua sudah ada yang mengatur. Termasuk serangkai catatan singkat pada pagi yang semarak ini. Tentang biru dan merah. Aku yang memakai kostum merah di bagian atas dan biru di bagian bawah. Ini berarti pula bukan bendera kebangsaan kita, bukan?  Karena aku sedang tidak melambai-lambai di angkasa dengan warna-warni yang terdekat denganku saat ini. 

Engkau, mungkin tidak akan pernah tahu, arti pentingmu bagiku, sampai kapanpun. Kalau saja aku tidak menjelaskan padamu. Namun yakinlah bahwa aku tidak akan pernah menghapus jejakmu dari ingatku. Walaupun hujan airmata mungkin saja akan turun dan membasahi bekas telapak kakimu yang telah menempel di halaman pikirku. Namun tidak dengan hatiku. Di ruang itu engkau pernah menempelkan telapak tanganmu nan lembut, bukan? Di sana masih membekas sentuhanmu. Walaupun engkau mungkin saja tidak menyadarinya, namun aku merasakannya.

Merah itu ayah, bukan marah. Sedangkan biru adalah ibu, bukan haru. Keduanya bersatu melahirkan aku. Sehingga engkau dapat menemukan kharisma ayah dan kelembutan seorang ibu dari dalam diriku.  Karena aku pun pernah marah, dan aku bukan ayah. Sedangkan aku pernah haru walaupun belum menjadi seorang ibu. 

Aku terharu atas segala yang membuatku segera mengungkit ingatan kepada hari-hariku. Terhadap hari-hari yang membuatku terus berseru, Allahu... Allahu Akbar. Sungguh segalanya tidak lebih besar dari kuasa-Nya Yang Maha Besar. Sehingga aku berbesar hati atas apa yang aku jalani, namun bukan hal demikian yang aku mau. Ini namanya bersabar. 

Aku pun pernah marah, sama sepertimu. Kalau saja aku menitipkan harapan kepadamu, maka engkau dapat saja mengalihkan harapanku. Sehingga ketika aku mengajukan lagi padamu atas harapan yang pernah aku selipkan itu, engkau belum dapat memenuhinya. Dan jelaslah sudah, bahwa pada saat itu aku sungguh marah. Namun marah itu tidak berwujud, bukan? Makanya, engkau tidak dapat melihatnya. Karena marahku hanya sebuah rasa saja. Dan apabila rasa itu telah ku pendam, ia tidak lagi mengurai dalam sikap, bicara dan atau perbuatan. So, inilah salah satu uraianku atas tanyamu tentang marahku yang tidak pernah kelihatan. 

Ketika merah itu api, maka biru itu air. Padamkan api amarah yang sedang bergejolak dengan air yang menyiraminya. Dan jelaslah sudah, mengapa kita diminta untuk ber-wudu kalau sedang marah. Karena api amarah itu sesungguhnya dinyalakan oleh syaitan-syaitan yang tidak pernah lelah menggoda kita agar ikut dengannya. Dan orang yang sedang marah itu, sedang bersama dengan syaitan. Ya Allah... lembutkanlah hati-hati kami yang selama ini mudah marah. Agar kami dapat merasakan kesejukan hati yang tenang dan tidak cepat tergoda syaitan. Dengan demikian, kami merasakan kenikmatan iman. 

Orang yang beriman, tidak mudah marah. Ia akan segera mengenali dirinya terlebih dahulu sebelum ia meluahkan rasa marahnya. Ia mengenali siapakah ia dan dirinya? Ia seringkali mengingat Allah... Ia mendahului segala aktivitasnya dengan menyebut nama Allah. Sehingga ia pun mengingat Allah terlebih dahulu sebelum menyampaikan ekspresi pun nada suara dalam lisannya. Ah, alangkah indahnya... bila sesiapa saja yang akan marah, terlebih dahulu membaca Bismillaahirrahmaanirrahiim... -- kemudian sanggupkah ia melanjutkan dengan marah?

Marah. Marah biasanya hadir kalau kita mempunyai masalah. Dan kita belum dapat menyelesaikannya dengan cara yang indah. Karena kita tidak mengingat Allah Yang Maha Kuat dan kita sesungguhnya lemah. Ah, sadarkah kita... wahai insan?

Orang yang sedang marah, karena ia merasa kuat. Ia merasa, hanya merasa. Ia tidak mengenali, bahwa sesungguhnya ada yang lebih kuat darinya. Dan Allah Yang sedang menatapnya pun tidak lagi ia ingat. Padahal, Allah selalu ada di sisinya. Allah Yang Maha Penyayang, sedang memperhatikannya. 

Marah, marah itu tidak KEREN, teman...  dan marah bukanlah indentitas seorang yang berIMAN. So, jangan marah... jangan marah... yaa. Karena kita berteman dan aku yakin engkau keren. Dan aku sangat percaya bahwa engkau adalah seorang yang penuh dengan keimanan. 

Walaupun biru warna kostummu, tidak berarti bahwa engkau sedang sendu. Namun karena engkau sedang larut dalam ingatanmu pada Rabbmu. Dan engkau tenggelam dalam ingatan itu seraya menyebut nama-Nya yang indah dalam setiap lirihmu. dan engkau pun terharu pada saat itu. 

Sedangkan kostum berwarna merah yang sedang engkau kenakan, tidak pula bermakna bahwa engkau sedang dalam kondisi marah. Karena warna-warni yang ada hanyalah sebagai sarana yang memperindah tampilan ragamu. Dan merah itu sedang mengingatkanmu pada belaian api yang menyala-nyala. Tentu engkau tidak ingin berdekatan dengan api tersebut, bukan. 

Engkau berkostum merah, agar ia menjadi jalan yang mengingatkanmu pada hari akhir nanti. Hari yang padanya ada dua pilihan. Neraka ataukah surga. Sedangkan merah itu sedang menjagamu. Ia membalut ragamu dengan sempurna dari pandangan orang-orang yang tidak pantas melihatnya. Oleh karena itulah engkau semakin senang dengan warna merah. Merah yang indah. Merahnya muslimah. Muslimah shalihah, ingatannya lebih sering kepada Allah Yang Maha Indah.

Wahai muslimah... tetaplah menjaga izzah dengan cepat meredam marah, yah...???! Karena itulah salah satu jalan dakwahmu, insya Allah. ^^
C78CFB59525D8620A655F4C0D3B966C7